Untuk mengupayakan kota yang sehat dan bebas dari asap rokok, maka peran serta dari masyarakat sipil, khususnya yang tergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengendalian Tembakau mutlak diperlukan. Pun demikian, kerjasama yang intens dengan lembaga pemerintahan juga harus dilakukan demi tercapainya sinergisitas antara pemerintah dan elemen masyarakat.
Hal itu yang saya simpulkan dari kunjungan saya ke Bali atas undangan Bali Tobacco Control Initiative-PSIKM Udayana, pada tanggal 16-17 Desember 2015. Narasumber yang hadir, seperti Bpk. Kartono Muhammad dari TCSC-IAKMI, Bpk. Abdillah Hasan, dr. Prijo Sidipratomo, Sp. Rad, Ibu Putu Ayu Swandewi Astuti, MPH, dan Ibu Theresia Sandra dari Kemenkes RI.
Ibu dr. Theresia Sandra memaparkan tentang Rencana Kegiatan KEMENKES 2016, untuk pengendalian tembakau mengacu pada 6 langkah pengendalian tembakau (MPOWER policy package) yang dikemukakan oleh WHO, yakni : 1. Monitor konsumsi produk tembakau dan pencegahan, 2. Perlindungan dari paparan asap rokok, 3. Optimalkan dukungan berhenti merokok, 4. Waspadakan masyarakat akan bahaya konsumsi tembakau, 5. Elimaninasi iklan, promosi dan sponsor produk tembakau, serta 6. Raih kenaikan pajak dan cukai tembakau.
Narasumber lainnya juga menyebutkan, untuk penegakan kota bebas asap rokok, juga diperlukan riset kesehatan, monitoring implementasi PHW & pelanggaran iklan rokok oleh BPOM, serta monitoring implementasi Kawasan Tanpa Rokok di sekolah-sekolah, seperti meyakinkan sekolah-sekolah mengimplementasi Perda Kawasan Tanpa Rokok. Adapun studi awal untuk mewujudkan hal tersebut yakni dengan Advokasi, yakni melakukan pertemuan regional aliansi bupati-walikota peduli KTR, pendampingan kepada Dinkes kabupaten/kota dalam melakukan advokasi dan membuat Perda, workshop penguatan penggunaan pajak rokok di daerah dan workshop implementasi peraturan Kawasan Tanpa Rokok.
Disisi lain, juga perlu dilakukan pengembangan kapasitas pelayanan kesehatan merokok, yaitu layanan upaya berhenti merokok (UBM) di pusat, provinsi, kabupaten, kota bagi petugas kesehatan, juga penyediaan alat pemantau gas CO dalam pernafasan, dan persiapan jaringan referal layanan UBM. Hal yang juga urgen perlu dilakukan adalah membangun quit-line berbasis telepon dan web serta melakukan deteksi gas CO pada anak sekolah SMP, SMA, dan sederajat yang dilanjutkan dengan penawaran layanan untuk berhenti merokok.
Belajar dari Bali dan Kulonprogo
Berbicara mengenai penegakan KTR, Bali dan Kulonprogo wajib bagi kita menjadikan 2 (dua) provinsi dan kabupaten ini sebagai pilot project bagi penegakan KTR di Aceh. Di Bali, komitmen melaksanakan Perda KTR luar biasa. Teman-teman aktivis pengendalian tembakau melakukan sidak di kantor gubernur ke biro HUMAS, sekretariat, kemudian dilaporkan ke gubernur, RSU, bandara, SKPD lain, terutama provinsi. Satpol PP disimulasi lebih dahulu bagaimana ke lapangan sehingga tidak terjadi bentrok. Penerapan di Dinas Pendidikan dahulu, sebelum “menjalar” ke dinas lain. Sosialisasi kepada ketua adat, di desa pengawasan rokok dilakukan oleh pecalang atau Hansip. Pelanggar KTR dimuat di TV atau koran untuk syok terapi, agenda penegakan KTR melibatkan wartawan, melibatkan mahasiswa, Siswa SMP, SMA, yang dilatih untuk menyebarkan kepada orang lain bahwa rokok berbahaya, sosialisasi melalui wayang ceplok dan pemilik kantin di bandara pernah didenda 2 juta.
Hampir mirip dengan Bali, kabupaten Kulonprogo menetapkan seluruh SKPD, puskesmas dll diminta mensosialisasi KTR, kemudian membuat stiker anti rokok di seluruh SKPD, sosialisasi sampai tingkat desa, denda di desa 50.000 atau 4 kg beras bagi pelanggar KTR dan uangnya dimasukkan ke kas desa serta di tahun 2016 akan melarang iklan rokok.
———————————————————
Direktur Eksekutif CTCS
Akademisi Akper Poltekkes Kemenkes RI Provinsi Aceh